Doa, Ikhtiar dan Tawakal adalah Kunci Kesuksesan Dunia Akhirat

Doa, Ikhtiar dan Tawakal adalah Kunci Kesuksesan Dunia Akhirat

Doa adalah senjata yang ampuh untuk berjuang meraih kesuksesan dunia dan akhirat. Selain doa, ikhtiar dan tawakal juga jadi paduan yang berkaitan satu dengan yang lainnya, sehingga kolaborasi antara doa, ikhtiar dan tawakal juga harus dilakukan secara bersamaan. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap pekerjaan yang baik, jika tidak dimulai dengan ‘bismillah’ (menyebut nama Allah SWT), maka (pekerjaan tersebut) akan terputus (dari keberkahan Allah SWT).” (HR. Abdul Qadir ar-Rahawi).

Selain membaca bismillah, berikut ini beberapa hal yang bisa menjadi kunci kesuksesan dunia akhirat:

  1. Doa

Allah SWT berjanji akan mengabulkan doa yang dipanjatkan umat manusia. Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, surat Al Mukmin ayat 60, Allah SWT berfirman:

Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mukmin: 60).

Nu’man bin Basyir meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Doa adalah ibadah” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).

Sesorang yang tidak mau berdoa kepada Allah SWT, secara tidak langsung berarti enggan beribadah (menyembah) kepada Allah. Orang semacam ini akan diancam untuk dimasukkan ke dalam neraka.

  1. Ikhtiar

Jika seseorang ingin mengubah nasibnya, maka yang harus dilakukan adalah ikhtiar atau usaha.

Dalam al-qur’an surah ar-Rad ayat 11 disebutkan bahwa:

..اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Rad: 11)

  1. Tawakal

tawakal adalah paduan antara upaya kita dan kepasrahan Allah SWT. Imam Al-Ghazali mengajarkan kepada kita bahwa tawakal itu dapat ditempatkan pada tiga hal diantaranya dalam bagian atau nasib kita sebagai manusia, masalah pertolongan dan masalah rezeki dan kebutuhan hidup.

Allah SWT berfirman dalam surah Yusuf: 67:

“Dan Ya’qub berkata: “Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri.”

Pelajaran Nabi Yakub kepada putra-putranya adalah bahwa mereka harus berusaha sepenuh hati dalam mengejar keinginannya. Tetapi juga harus diikuti dengan kesadaran penuh bahwa kendali semuanya ada di tangan Allah SWT.

Selain ayat tersebut, Allah SWT juga menjelaskan hikmah tawakkal dalam firman-Nya yang lain:

“Barang siapa bertakwa kepada Allah, Allah akan memberikan jalan keluar dan dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. ath-Thalaaq: 2-3).

Keluasan dan Kesempitan Rizki di Tangan Allah

Keluasan dan Kesempitan Rizki di Tangan Allah

“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS. Ar-Ra’d: 26)

Melalui ayat di atas, Allah SWT menyebutkan bahwa Dia-lah yang meluaskan rizki bagi orang yang Dia kehendaki dan menyempitkan rizki bagi siapa pun yang dikehendaki-Nya. Semua itu Allah lakukan berdasarkan hikmah dan keadilan-Nya. Kegembiraan orang-orang kafir terhadap kekayaan dunia yang mereka dapatkan hanyalah merupakan penangguhan dan uluran waktu yang Allah berikan. Sebagaimana firman-Nya:

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’-minuun: 55-56).

Kemudian Allah menghinakan kehidupan dunia dengan membandingkannya dengan apa yang Dia siapkan untuk hamba-hamba-Nya yang beriman di negeri akhirat nanti.

Firman Allah SWT:  “Padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” Sebagaimana firman Allah SWT:

“Katakanlah: ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (QS. An-Nisaa: 77) Sebagaimana firman-Nya yang lain, “Tetapi kamu (orang-orang) kafir memilih kehidupan duniawi. Padahal kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’laa: 16-17).

Imam Ahmad telah meriwayatkan dari al-Maustaurid, saudara laki-laki Bani Fihr, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

“Tidaklah perumpamaan dunia, dibanding negeri akhirat, melainkan bagaikan salah seorang di antara kalian mencelupkan jarinya ini ke dalam laut, 1 perhatikanlah apa yang dia bawa (ketika jari tersebut diangkat).”

Beliau memberikan isyarat dengan telunjuk tangannya. Diriwayatkan juga oleh Muslim. 2

Pada hadits lain disebutkan bahwasanya ketika Rasulullah SAW melewati bangkai seekor anak kambing yang kedua telinganya kecil. Beliau berkata,

“Demi Allah, sesungguhnya dunia lebih hina bagi Allah dari bangkai ini ketika dilemparkan oleh pemiliknya.” 3 [Syahida.com/ANW]

Catatan Kaki:

1 Ahmad (IV/228)

2 Muslim (IV/2193) [Muslim (No. 2858). Dari al-Mustaurid bin Syaddad bin ‘Amr bin Hisl ]

3 Muslim (No. 2957) [Dari Jabir bin ‘Abdillah r.a]

Sumber: Kitab Shahih Tafsir Ibnu Katsir jilid 4, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir

Istighfar Kunci Rizki yang sering dilupakan

Istighfar Kunci Rizki yang sering dilupakan

Tak satu pun manusia yang tidak suka terhadap harta. Tiada seorang pun bani Adam yang tidak senang jika rizkinya melimpah. Tiada seorang insan pun yang tidak gembira bila kekayaannya semakin bertambah. Allâh Yang Maha Mengetahui telah menguraikan jati diri makhluk yang bernama manusia dalam firman-Nya :

وَّتُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّاۗ

Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. [al-Fajr/89:20]

Cinta harta dan dunia adalah sifat dasar manusia, dan yang menjadi pembeda adalah keimanan dan ketakwaan yang tersimpan dalam dada; Seberapa jauh bisa mengendalikan diri dalam mencarinya; Seberapa kuat bisa memimpin diri dalam memperolehnya. Ironis, banyak manusia mengadu nasib demi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan cara semaunya, tanpa peduli apakah cara itu mengundang murka Allah Azza wa Jalla atau tidak ?! Bahkan tanpa apakah itu akan memancing siksa-Nya.

Betapa banyak kaum Muslimin meminta harta kepada penunggu pohon yang dianggap bertuah. Tidak sedikit manusia yang mengaku Muslim mengumpulkan kekayaan dengan memuja dan berdoa kepada benda-benda pusaka yang dianggap keramat. Na’ûdzubillâh min Dzâlik. Di sisi lain banyak juga kaum muslimin berbaju Islam, tapi prinsip hidupnya adalah ideologi komunis, yaitu “tujuan menghalalkan segala cara.” Yang penting menghasilkan banyak uang, cara apapun boleh dan pasti akan ditempuh, meskipun harus menghisap darah saudaranya dengan berbagai praktek riba, renten dan beternak uang.

Mereka menari-nari diatas penderitaan orang lain, bahkan gembira berenang dalam sungai darah makhluk sejenisnya. Demi Allâh, harta yang diperoleh dengan cara-cara tersebut tidak akan pernah diberkahi, bahkan tidak akan bisa memberikan kebahagian hakiki bagi pemiliknya di dunia, sampai di akherat. Sebaliknya, harta-harta itu justru sangat berpotensi mendatangkan siksa dan petaka yang tiada diterperikan.

Semoga kita senantiasa dalam penjagaan Allah Azza wa Jalla. Di waktu yang sama, ternyata Allâh Dzat Maha Pemberi rizki segenap makhluk-Nya, telah memberikan kunci pengundang rizki. Kunci ini banyak dilalaikan manusia. Jangankan oleh orang yang tidak mengetahuinya, orang yang mengetahuinya pun kadang meremehkannya. Cara dan kunci yang teramat mudah dengan keampuhan tiada tara, melalui lisan Nabi-Nya Nuh Alaihissallam kepada kaumnya, diabadikan dalam firman Allah Azza wa Jalla :

﴿فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ اِنَّهٗ كَانَ غَفَّارًاۙ يُّرْسِلِ السَّمَاۤءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًاۙ وَّيُمْدِدْكُمْ بِاَمْوَالٍ وَّبَنِيْنَ وَيَجْعَلْ لَّكُمْ جَنّٰتٍ وَّيَجْعَلْ لَّكُمْ اَنْهٰرًاۗ ﴾

Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, karena sesungguhnya Dia adalah Sang Maha Pengampun-!’ Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anak kalian, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun, serta mengadakan (pula di dalamnya) untuk kalian sungai-sungai. [Nûh/71:10-12]

Generasi sahabat memberikan teladan dalam pengamalan ayat yang mulia ini. Muthorrif meriwayatkan dari asy-Sya’biy bahwa Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu pernah memimpin kaum Muslimin melakukan istisqâ’ (minta hujan). Anehnya, beliau Radhiyallahu anhu tidak banyak meminta kecuali memperbanyak istighfâr sampai beliau Radhiyallahu anhu pulang. Seseorang bertanya kepadanya, ”Kami tidak mendengar anda meminta hujan?!” Beliau Radhiyallahu anhu menjawab:

Aku telah meminta hujan menggunakan kunci-kunci pengendali langit, yang dengan akan diturunkan hujan. Kemudian beliau membaca firman-Nya (yang artinya),” Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, karena sesungguhnya Dia adalah Sang Maha Pengampun-!’ Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anak kalian, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun, serta mengadakan (pula di dalamnya) untuk kalian sungai-sungai. (Nûh/71:10-12).

Riwayat ini disebutkan oleh al-Qurthubi dan Ibnu Katsir dalam tafsir mereka. Generasi tabi’in pun memberikan teladan dalam pengamalan ayat yang mulia ini. Dikisahkan bahwa al-Imam al-Hasan al-Bashri, ketika beliau rahimahullah didatangi oleh seorang lelaki dan mengeluhkan paceklik serta kemarau yang panjang. Kemudian beliau rahimahullah menasehatkan agar beristighfâr dan memohon ampunan atas dosa-dosanya. Kemudian datang lagi orang lain seraya mengeluhkan kefakiran serta kemeleratannya. Lalu beliau pun menasehatkan agar beristighfâr dan memohon ampunan atas dosa-dosanya. Pernah datang orang yang lain pula seraya mengeluh karena belum dikaruniai anak dan keturunan, maka beliau pun menasehatkan agar beristighfâr dan memohon ampunan atas dosa-dosanya. Juga datang orang yang lain seraya mengeluhkan kegagalan pertaniannya, beliau pun menasehatkan agar beristighfar dan memohon ampunan atas dosa-dosanya. Akhirnya, beliau pun ditanya, “Kenapa setiap orang yang kepada anda mengeluhkan keadaannya, selalu anda menasehati mereka agar memperbanyak istighfâr ?”

Beliau menjawab :

Tidak sedikitpun yang aku katakan itu yang bersumber dari diriku, sesungguhnya Allâh berfirman dalam surat Nuh, (yang artinya), “Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, karena sesungguhnya Dia adalah Sang Maha Pengampun-!’ Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anak kalian, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun, serta mengadakan (pula di dalamnya) untuk kalian sungai-sungai. [Nûh/71:10-12]

Jika demikian, kehebatan istighfar, serta begitu besar dan luas pengaruhnya dalam kehidupan manusia, maka tampak bagi kita, bahwa tidak seorang pun yang tidak membutuhkan istighfâr, bahkan Rasûlullâh yang mulia setiap harinya beristighfâr 70 kali, sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

Demi Allâh, sesungguhnya aku beristighfâr dan bertaubat kepada Allâh lebih dari 70 kali dalam sehari.” [HR. Bukhâri, no. 6307]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dijamin masuk surga, dosa-dosanya yang terdahulu maupun yang akan datang sudah diampuni, termasuk makhluk yang paling dicintai Allah Azza wa Jalla, ternyata sedemikian banyak dalam keseharian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon ampunan atas dosa-dosanya. Kita sebagai umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dijamin masuk surga, tidak dijamin diampuni dosa-dosa kita, tentunya kita lebih butuh untuk beristighfâr dan memperbanyaknya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan motivasi :

Barangsiapa memperbanyak istighfar, niscaya Allâh merubah setiap kesedihannya menjadi kegembiraan; Allah Azza wa Jalla memberikan solusi dari setiap kesempitannya (kesulitannya), dan Allâh anugerahkan rizki dari jalur yang tiada disangka-sangka. [HR. Ahmad dan al-Hakim]

Dengan demikian, apapun kesulitan kita, apapun kesedihan yang kita rasakan, apapun kegundahan yang menghantui kita, maka solusinya adalah memperbanyak istighfâr. Bahkan dalam urusan dunia, kemiskinan dan belum adanya keturunan, maka jalan keluarnya adalah memperbanyak permohonan ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas dosa-dosa kita.

Semoga kita dijadikan oleh Allâh sebagai hamba-hamba-Nya yang bisa mengisi dan memenuhi detik-detik sisa hidup kita dengan memperbanyak istighfâr dan memohon ampunan atas semua kesalahan dan dosa, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Amiin.

Sungguh rugi ! orang yang tidak membasahi lisannya dengan istighfâr. Sungguh rugi manusia yang tidak sibuk menggugurkan dosa-dosanya dengan istighfâr. Sungguh rugi bani Adam yang tidak berusaha meninggikan derajatnya dengan istighfâr. Sementara, waktu terus bergulir, zaman terus berganti, yang pergi tidak akan pernah kembali. Umur terus bertambah, pertanda ajal semakin dekat, sampai akhirnya pintu taubat ditutup rapat. Istighfar adalah solusi dari semua problem dan masalah yang kita hadapi, bahkan salah satu sumber kebahagiaan yang kita idamkan.

Akan tetapi perlu diingat, tidak semua istighfâr bermanfaat bagi pelakunya. Istighfâr yang bermanfaat yaitu istighfâr, permohonan ampun yang jujur yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam, yang benar-benar menyesali perbuatan dosanya. Istighfâr dengan lisan, lalu disetujui oleh sanubari, seraya bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa, serta dibuktikan dengan anggota badan dengan berhenti dari segala kemaksiatan. Istighfâr model inilah yang bakal bisa menjadi sebab bebasnya kita dari segala kesedihan dan kesempitan, bahkan mengundang rizki dari Allah Azza wa Jalla melalui jalur yang tiada kita sangka-sangka. Semoga kita dianugerahi Allâh hidayah, taufiq dan kekuatan untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang pandai memperbanyak istighfâr dengan penuh kejujuran, sehingga kebahagiaan dan kenikmatan senantiasa meliputi kita di dunia dan di akherat. Amiin.

(Abul Barokaat Lc) https://almanhaj.or.id

Tawakal kepada Allah adalah kunci meraih Rizki-Nya

Tawakal kepada Allah adalah kunci meraih Rizki-Nya

Manusia akan kuat dan terhormat kala ia tidak mengadukan kesusahannya dan menyerahkan urusannya kepada sesamanya. Ia akan menjadi mulia ketika ia adukan keperihannya dan menyerahkan urusannya kepada Allâh Azza wa Jalla ; Dzat Yang Maha Kuasa mendatangkan manfaat dan menampik madharat.

Rasûlullâh n bersabda: Barangsiapa ditimpa kefakiran, lalu ia adukan kepada manusia, maka kebutuhannya tidak akan dipenuhi. Dan barangsiapa yang dikenai kefakiran lalu ia adukan kepada Allâh Azza wa Jalla  (dan ia serahkan kepada-Nya), maka Allâh Azza wa Jalla  akan menyegerakan untuknya rezeki yang disegerakan, atau rezeki yang ditunda nantinya. [Shahîh Sunan At-Tirmidzi, no. 1895]

Ia serahkan segala keperluan dan keluhannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Ia bersimpuh berdoa penuh hiba kepada Allâh Azza wa Jalla ; Dzat Yang Maha Kuasa untuk memenuhi segala kebutuhan semua makhluk-Nya. Ia bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , mengharap agar Dia berkenan memenuhi kebutuhannya. Allâh Azza wa Jalla  akan menyegerakan kecukupan, dengan memberinya rezeki dalam waktu dekat, ataupun rezeki yang ditunda untuk suatu saat kelak. Ini semua tidaklah mengherankan, karena Allâh Azza wa Jalla  Dzat satu-satunya yang memberi rezeki.

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Azza wa Jalla  akan memberinya kecukupan dari-Nya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman: وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗ

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla  niscaya Allâh Azza wa Jalla  akan mencukupkan (keperluan)nya. [Ath-Thalâq/ 65: 3]

Sekiranya seseorang bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla  dengan sebenar tawakkal, dengan penuh keyakinan bahwa tidak ada yang memberi atau menahan rezeki selain Allâh Azza wa Jalla , lalu ia berusaha dengan menekuni mata pencahariannya, pasti ia akan diberi rezeki, layaknya burung yang keluar di pagi hari buta dengan perut kosong dan pulang di petang hari dalam keadaan kenyang. Jadi tawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla  adalah sebab yang paling agung dalam mendatangkan rezeki. Tawakkal adalah setengah dari agama ini, yang merupakan bentuk permintaan tolong seoang hamba kepada Rabbnya. Ia adalah amalan hati, bukan ucapan lisan atau perbuatan anggota badan, bukan pula pengetahuan yang dimiliki seseorang.

Tawakkal yang paling utama adalah tawakkal dalam hal yang wajib; yaitu yang wajib terhadap Allâh Azza wa Jalla , yang wajib terhadap sesama manusia, dan yang wajib terhadap dirinya.

Yang wajib terhadap Allâh adalah dengan meminta tolong kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam taat kepada-Nya, bertumpu pada-Nya dan tidak bersandar pada kekuatan dirinya. Ini disertai dengan usaha dan ikhtiar.

Adapun yang wajib terhadap diri adalah dengan bersandar kepada Allâh Azza wa Jalla dalam memperbaiki urusan dirinya, sambil meniti jalan untuk mencari kebaikan diri dan kemanfaatannya.

Sedangkan yang wajib terhadap sesama manusia adalah bertawakkal kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam memperbaiki perkaranya, dengan memperkuat relasi antara diri dan Rabb nya, sehingga Allâh pun akan membuat relasi dirinya dengan sesama manusia menjadi harmonis. Sebagaimana ia juga meminta pertolongan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam memperbaiki sesama manusia, tidak mengandalkan ilmu dan usahanya. Karena ia tahu bahwa hati  manusia ada di tangan Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Sedangkan tawakkal yang paling bermanfaat adalah tawakkal terhadap suatu efek yang terjadi dalam hal kemaslahatan terkait agama, dan dalam hal menolak bahaya terkait agama.

Ini merupakan tawakkalnya para nabi dalam menegakkan agama Allâh Azza wa Jalla  dan menolak sepak terjang yang dilakukan para perusak di muka bumi.

Dan inilah tawakkalnya para pewaris nabi. Ada yang mengartikan tawakkal sebagai bentuk percaya dan yakin dengan (kekuasaan) Allâh Azza wa Jalla , merasa tenang dan nyaman dalam bersandar kepada-Nya. Ada lagi yang mengartikannya sebagai bentuk keridhaan terhadap apa yang ditakdirkan. Sebagian orang salih berkata, “ ada orang yang berkata: aku bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla ! Namun sebenarnya ia dusta kepada Allâh Azza wa Jalla . Sekiranya ia benar-benar tawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla, ia pasti akan ridha dengan apa yang Allâh Azza wa Jalla  perbuat terhadapnya. Mewujudkan tawakkal, bukan kemudian berarti meniadakan usaha menempuh sebab dan ikhtiar mencari rezeki. Tawakkal akan menjadi nonsense  ketika tanpa diiringi usaha menempuh sebab dan ikhtiar.

Tawakkal tanpa ikhtiar sama saja dengan bentuk berpangku tangan dan pengangguran. Di samping bertawakkal, Allâh Azza wa Jalla pun memerintahkan untuk menempuh sebab dan usaha. Jadi, meniti sebab dengan berusaha memberdayakan anggota badan, juga merupakan bentuk ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla  dengan hatinya, merupakan bentuk keimanan kepada-Nya.

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allâh dan ingatlah Allâh banyak-banyak supaya kamu beruntung. [Al-Jumu’ah/ 62: 10]

Artinya menebarlah di penjuru bumi untuk mencari penghidupan dengan berbagai cara yang dihalalkan, agar harta halal bisa mengalir dan rezeki-Nya pun bisa dinikmati. Dan perlu diingat, bahwa ikhtiar kita tidak akan mendatangkan hasil kecuali apa yang telah Allâh Azza wa Jalla  tetapkan. Bila memang sulit diwujudkan, maka itulah apa yang telah Allâh Azza wa Jalla  takdirkan. Kalaupun memang mudah, maka itu karena Allâh Azza wa Jalla  telah memudahkannya.

Karena usaha dan ikhtiar bukanlah yang memberi rezeki, namun Allâh Azza wa Jalla  lah Dzat Yang memberi rezeki. Oleh karena itu, merupakan bentuk kesempurnaan tawakkal adalah tidak condong dan berserah pada sebab, serta memutuskan keterpautan hati dengan sebab. Sehingga keadaan hatinya adalah percaya sepenuhnya kepada Allâh Azza wa Jalla , bukan kepada sebab, sedangkan sikap fisiknya adalah mengupayakan sebab dan ikhtiar.

Bisa saja Allâh Azza wa Jalla  memberi rezeki kepada sebagian hamba yang yakin dan tawakkal dengan tulus, sehingga Allâh Azza wa Jalla pun memberikan hal yang di luar kadar kebiasaan. Ini seperti halnya makanan dan buah-buahan yang datang dari Allâh Azza wa Jalla  kepada Maryam, di mana ia telah beribadah secara total kepada Allâh Azza wa Jalla .

Sebagaimana bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla  yang benar adalah tidak mengandalkan tawakkal saja dalam meraih rezeki atau lainnya, tanpa meniti sebab dan ikhtiar. Inipun bentuk tawakkal yang kurang. Hakikat tawakkal adalah mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla  telah menjamin rezeki dan kecukupan bagi hamba-Nya, dan itu pasti, sehingga hatipun meyakini sepenuhnya dan menyerahkan urusannya kepada Allâh Azza wa Jalla , tanpa meninggalkan upaya meniti sebab dan ikhtiar dalam mencari rezeki.

Selama seseorang masih hidup, maka Allâh Azza wa Jalla  pun menjamin rezekinya. (Diangkat dari kitab Anta wal Mal karya Adnan ath-Tharsyah) https://almanhaj.or.id